Di Desa Tegalmbi Kecamatan Kota Jepara ada tradisi yang dilakukan secara turun-temurun dan cukup unik, namanya Tradisi Sedekah Bumi Obor-Oboran. Tentu saja, kalau merujuk namanya, tradisi ini bisa dikategorikan sebagai tradisi yang cukup berbahaya, karena tradisi ini menggunakan alat wajib berupa nyala api dari obor bambu yang diisi minyak tanah kemudian dibakar. Warga Desa Tegalsambi sendiri banyak yang menyebut tradisi ini dengan Perang Obor atau adu kesaktian dengan saling memukulkan obor api yang menyala ke tubuh para pelakunya.
Seperti umumnya Upacara Sedekah Bumi, Tradisi Obor-Oboran ini pun memiliki mitos yang masih dipercaya banyak orang. Konon, Tradisi Obor-Oboran mulai dilakukan akibat ulah Ki Gemblong, salah seorang penggembala ternak di Desa Tegalsambi.
Kisahnya pada zaman dulu di Desa Tegalsambi ada seorang petani kaya raya bernama Mbah Babadan. Petani ini memiliki banyak sekali hewan ternak. Bahkan, saking banyaknya jumlah ternak yang dimiliki, Mbah Babada pun tak mampu memelihara hewan-hewannya itu seorang diri. Akhirnya, seorang warga bernama Ki Gemblong menawarkan diri untuk memelihara hewan-hewan ternak Mbah Babadan. Kesepakatan pun dilakukan dan Ki Gemblong mulai memelihara ternak Mbah Babadan.
Kepandaian Ki Gemblong memelihara ternak ternyata membuahkan hasil. Dalam waktu singkat hewan ternak yang dipeliharanya jumlahnya bertambah banyak, bahkan boleh dikata berlipat-lipat dan badannya gemuk-gemuk.
Melihat keberhasilan memelihara hewan ternak, Mbah Babadan pun sangat gembira. Ia terus-menerus berterimakasih dan memuji-muji Ki Gemblong.
Pada suatu hari, Ki Gemblong menggembalakan hewan-hewan ternaknya di tepi sungai. Ki Gemblong tiba-tiba terkejut karena di sungai itu banyak sekali ikannya. Melihat saking banyaknya ikan di sungai yang jernih itu, perut Ki Gemblong pun tiba-tiba terasa melilit lapar. Ki Gemblong pun memakan ikan tersebut dengan cara dibakar.
Begitu ikan bakar yang diambil dari sungai itu dikunyahnya, Ki Gemblong terkejut bukan kepalang. Sebab ikan yang dimakannya terasa enak sekali. Ki Gemblong pun ketagihan.
Sejak saat itu, tiap hari Ki Gemblng selalu menggiring ternaknya ke tepi sungai dan ia meninggalkan hewan ternaknya begitu saja. Ki Gemblong asyik menangkap, membakar dan memakan daging ikan, sementara hewan ternaknya benar-benar dilupakan. Hingga pada suatu hari, hewan-hewan ternak yang digembala Ki Gemblong menjadi kurus-kurus bahkan banyak sekali yang sakit dan kemudian mati.
Peristiwa ini akhirnya terdengar Mbah Babadan, maka Ki Gemblong pun dipanggilnya untuk menghadap. Rupanya Mbah Babadan marah melihat ulah Ki Gemblong. Mbah Babadan pun segera mengambil seikat daun kelapa kering dan membakarnya menjadi obor. Dengan obor itulah Mbah Babadan berkali-kali memukul kepala Ki Gemblong. Karena merasa sakit, Ki Gemblong segera bangkit dan melawan dengan obor pula.
Ternyata percikan api obor yang dipukul-pukulkan kedua orang itu ada yang membakar jerami yang ada di kandang. Kandang ternak itu pun akhirnya terbakar dan hewan ternak milik Mbah Babadan yang sedang sakit dan kurus-kurus lari tunggang langgang ketakutan.
Sejak itulah, masyarakat Desa Tegalsambi yakin bahwa untuk mengusir penyakit perlu dilakukan Tradisi Obor-Oboran. Prosesi ini masih acap digelar menjadi rangkaian Upacara Sedekat Bumi Desa Tegalsambi.
Salah satu syarat untuk menggelar Tradisi Obor-Oboran sebelum upacara dimulai terlebih dulu harus disembelih seekor kerbau jantan yang belum pernah dipakai untuk membajak sawah. Selain itu, empat pusaka sakti milik Desa Tegalsambi wajib disiapkan di suatu tempat dan diberi sesaji bunga setaman. Bunga setaman bekas dipakai sesaji ini nantinya akan ditumbuk halus dan digunakan untuk menjadi semacam obat olesan bagi pelaku Perang Obor yang terkena luka bakar.
Sumber: Wahyana Giri MC, Sajen & Ritual Orang Jawa (Sajen, Upacara Traadisi, dan Ngalab Berkah Tinggalan Para Leluhur yang Unik), Yogyakarta: Narasi, 2010.
0 Response to "Tradisi Obor-Oboran"
Posting Komentar