Bagi masyarakat keturunan Kalang, tentu tidak asing dengan Tradisi Kalang Obong. Konon, tradisi ini memang merupakan bagian ritual yang dijalani masyarakat keturunan Kalang. Prosesi Tradisi Kalang Obong berupa upacara membakar boneka mirip manusia disertai berbagai benda-benda tertentu.
Oleh keturunan Kalang sendiri, tradisi ini dimaksudkan untuk selamatan atau kirim doa bagi arwah orang yang sudah meninggal. Makanya, pembakaran boneka selalu disertai dengan membakar benda-benda yang paling disukai milik orang yang sudah meninggal tersebut.
Tradisi Kalang Obong dilakukan bersamaan dengan upacara Nyewu atau selamatan seribu hari orang yang sudah meninggal. Sepintas Tradisi Kalang Obong memang mirip Ritual Ngaben di Balil. Hal ini sangat wajar sebab keberadaan wong Kalang di Jawa Tengah dan Yogyakarta tidak bisa dipisahkan dengan sejarah masyarakat Bali.
Konon, pada bab 17 banyak orang Bali yang dipekerjakan di Keraton Mataram sebagai ahli ukir dan pertukangan kayu. Tukang ukir dan kayu yang dipekerjakan ini kemudian membentuk kelompok sendiri yang kemudian terkenal dengan sebutan wong Kalang (orang Kalang). Dan tempat mereka bermukim pun akirnya disebut Desa Kalangan.
Wong Kalang pada zaman pemerintahan Sultan Agung terkenal sangat ulet dan gigih, hingga ketika Sultan Agung menyerang Batavia banyak wong Kalang yang diikutkan. Selain terkenal sebagai ahli ukir dan pertukangan kayu, di kalangan prajurit atau pasukan perang, wong Kalang biasanya dipilih sebagai pasukan infanteri. Pilihan ini cukup beralasan sebab wong Kalang terkenal sangat tangguh dalam menghadapi medan tersulit sekalipun.
Cikal bakal wong Kalang di Yogyakarta berasal dari seorang tukang ukir kayu bernama Jaka Sana. Lelaki dari kasta Sudra itu pernah mendapat pekerjaan untuk membangun istana baru di Kedaton Pleret, Bantul.
Saat menjalankan tugasnya membuat istana itulah Jaka Sana menjalin hubungan dengan putri Raja Mataram yang bernama Ambarluwung. Percintaan keduanya rupanya terlanjur dalam dan tak bisa dipisahkan. Jaka Sana pun akhirnya menghadap Sultan Agung untuk melamar Ambarluwung.
Dan di luar dugaan, lamaran lelaki Sudra itu ternyata diterima Sultan Agung hanya dengan syarat Jaka Sana harus masuk Islam.
Jaka Sana menerima syarqat itu dan mereka pun akhirnya mjenikah. Tetapi, Jaka Sana tetap menyadari bila dirinya berasal dari Kasta Sudra, maka ia pun enggan tinggal di istana. Mereka memilih menetap di daerah Petanahan Kebumen, Jawa Tengah.
Itulah, kenapa Tradisi Kalang Obong mirip upacara Ngaben di Bali. Bedanya, jasad yang dibakar pada Tradisi Kalang Obong hanya berupa "puspa" atau boneka yang terbuat dari kayu jati dan doa-doa yang diucapkan pun, berupa doa-doa Islam.
Sesaji atau uborampe Tradisi Kalang Obong cukup rumit, sedikitnya ada 16 mjacam sesaji yang harus disediakan. Sesaji itu antara lain jajan pasar, kembang setaman, aneka daun, ingkung ayam, 32 jenis nasi tumpeng ditambah dengan alat tukang kayu dan tenun.
Sesaji penting yang tidak boleh ditinggalkan adalah kerbau dan itik. Hewan ini dimaksudkan sebagai hewan tunggangan bagi roh orang yang sudah meninggal.
Prosesi Tradisi Kalang Obong dimulai dengan doa-doa tahlil, baru kemudian dilanjutkan dengan Upacara Ngendhek-endheki, yakni seluruh cucu dan anggota keluarga berputar mengelilingi kerbau sesaji sebanyak 7 kali dengan membawa aneka sesaji dan "puspa".
Prosesi dilanjutkan Upacara Nasi Kuku, yakni Sang Duku menjual nasi gurih dan harus dibeli oleh keluarga almarhum untuk diikutkan di-obong (dibakar). Prosesi diakhiri dengan Upacara Obong, yakni membakar "puspa" dan pancake. Abu hasil bakaran tersebut kemudian dilabuh ke sungai.
Diambil dari buku Sajen & Ritual Orang Jawa (Sajen, Upacara Tradisi, dan Ngalab Berkah Tinggalan Para Leluhur yang Unik), Yogyakarta: Narasi, 2010, hlm. 65-67)
0 Response to "Tradisi Kalang Obong"
Posting Komentar