Terang saja dunia tercengang dengan kemampuan Indonesia ini. Sewaktu itu—dapat dikatakan—seluruh satelit telekomunikasi dunia diluncurkan pada orbit rendah (600-1.000 km) dan menengah (7.000 – 10.000 km). Satelit-satelit ini punya kelemahan. Pertama, daya jangkaunya yang terbatas. Padahal untuk bisa meliput sebelah belahan dunia membutuhkan sekira 60 satelit rendah atau 12 satelit berorbit menengah.
Di samping itu, ada kelemahan lainnya, yaitu pengoperasian sistem telekomunikasi satelit pada telepon bergerak kala itu pesawatnya tidak praktis. Bayangkan perangkat telepon bergerak yang digunakan berkomunikasi via satelit punya ukuran hampir sebesar kopor buat traveling. Pengoperasiannya juga memerlukan stasiun bumi, berupa antena parabola berdiameter satu meter.
Demikian pelepasan satelit Garuda-1 ke atas langit jelas menambah gengsi politik dan ekonomi. Di samping sistem FSS (Palapa dan Telkom), Indonesia menjadi salah satu negara pengguna dan pemilik satelit terbesar di kawasan Asia.
Penggagasnya? Jangan heran kalau disebutkan, dia tak lain tak bukan adalah putra Indonesia sendiri. Dia mempunyai nama Adi Rahman Adiwoso. Berbekal keahliannya di bidang telekomunikasi satelit, dia menghasilkan teknologi sekaligus produk baru yang belum ada di pasaran dunia. Teknologi ini memungkinkan komunikasi via handphone mampu dilakukan di mana saja. Meski jaringan kabel belum menjangkau dan telepon seluler konvensional kehilangan sinyal, sistem telekomunikasi temuannya akan tetap “on”.
Inovasi yang dibikin Adi tak cuma memperluas cakupan satelit melainkan memperkecil dimensi pesawat telepon bergerak berbasis satelit ini pula. Daya pancar yang dipunyai Garuda-1 bisa mencapai sebesar 10 kw, karenanya sinyal Garuda-1 dapat diterima dengan handphone yang sekaligus merupakan stasiun bumi. “Inilah stasiun bumi terkecil dan termurah yang pernah dibuat manusia”, tukas Adi sambil menunjukkan telepon genggam Ericsson R190. Jaringan telepon satelit yang menginduk ke Garuda-1 itu selanjutnya dikemas dengan brandmerk Byru.
Kinerja telepon ini sangat bergantung pada Garuda-1, yang pengendali pengontrol satelit ada di Pulau Batam. Di situ juga dibangun pusat kendali jaringan (Network Control Center—NCC), yakni pengatur arus percakapan dengan panel pengaturnya.
Gagasan Adi itu tak diwujudkan sendirian. Manusia memang tak bisa kerja sendirian, butuh orang lain untuk membantunya berhasil. Maka ia menjalin kerja sama dengan beberapa pihak. Sebut saja misalnya, ia membikin satelitnya di Hughes Aircraft—tempat ia pernah makaryo), Amerika Serikat dan R190-nya dipesan ke pabrik handphone kenamaan, Ericsson, Swedia. Toh demikian, blue print-nya tetap dibikin sendiri oleh Adi maupun timnya di PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), yang didirikan Adi dan Iskandar Alisjahbana (guru besar dan mantan rektor ITB) pada 1991. Lahirlah Byru dan Pasti–merek dagang sistem telepon satelit buatan PSN.
Bersama perangkat telekomunikasi PSN ini, Byru, Pasti (Pasang Telepon Sendiri) dan jasa internet Bina (Balai Informasi Nusantara), penduduk daerah yang belum terjangkau jaringan telepon kabel dan nirkabel tetap bisa bertelepon-ria dan seluncur di dunia maya. Pada akhir 2003, PSM mengklaim sudah membebaskan 2.975 desa di 40 kabupaten di Indonesia dari isolasi telekomunikasi dengan perangkatnya yang berbasis satelit.
“Selama di atas kepala terlihat langit, komunikasi lewat telepon genggam bisa dilakukan,” kata Adi—Chief Executive Officer & President Director PT. Pasifik Satelit Nusantara (PSN), yang juga menduduki jabatan yang sama di Asia Cellular Satelite (ACeS). (Lilih Prilian Ari Pranowo)
0 Response to "Satelit Garuda-1"
Posting Komentar