“Halo, lagi apa?” tanyanya.
“Biasalah. Cuma baca sekalian merilekskan pikiranku,” jawabku, “tumben. Nggak keluar sama cowokmu?”
Ia menggeleng. “Nggak. Sepi aja di kamar sendirian, tanpa kawan. Maklum liburan panjang, pada pulang semua.”
Aku mengangguk-angguk mendengar jawabannya. Betul apa yang dikatakannya. Hampir semua anak kos di sini sedang mudik menyambut libur yang panjang, empat hari. Lumayan untuk melepas rindu, melepas beban yang hadir di kota yang menurutku kian sumpek dan panas saja ini. “O, gitu ya. Kupikir ada apa?” Aku kembali merebahkan diriku di kasur dan menyuntuki kata per kata bukuku.
Dan Dwi kawanku itu segera ke arah meja, mengambil laptop yang teronggok saja di atasnya. “Kunyalakan ya…” katanya.
“Ok.”
Untuk beberapa lama waktu berjalan, tak ada percakapan di antara kami. Semua dalam keheningannya masing-masing, menikmati kegiatan yang tengah disuntuki. Yang terdengar hanyalah derik suara kehidupan hewan malam dan suara dari laptopku yang sedang memutar lagu, entah apa judulnya—aku sudah tidak mengupdeti lagu-lagu pop masa kini. Dan… dalam kondisi yang demikian, tiba-tiba saja Dwi kawanku itu nyeletuk.
“V.”
“Hmm…”
“Kamu dapat salam.”
“Dari siapa?’
“Dari mantan kakak kelasku!”
Deg. Jantungku berdegub cepat. Aku berhenti membaca. Lalu kutatap Dwi kawanku itu. “Ah, becanda kamu…” Dan, tanpa sadar, senyumku mengembang. Kubayangkan kamu. Kamu yang pernah ke kos ini beberapa tempo lalu untuk menemui Dwi dan memencet bel namun tidak kudengar. Kamu yang pernah menjadi cerita lima tahun silam.
“Nggak. Ini betulan. Suer.” Dua jari tangan kanannya—manis dan telunjuk—diacungkan, membentuk huruf V, yang memiliki maksud aku tidak bohong lho.
“Ya, makasih salamnya.” Senyumku masih belum menghilang dari bibirku. Dwi memandangiku dengan mimik aneh, membuatku terbingung dengan tingkahnya itu. Selanjutnya ia mengangkat bahunya, seperti mengisyaratkan bahwa “hello, aku menunggu jawab dari kamu lho.” Yang mana juga kubalas dengan gerakan yang tak kalah membingungkannya dengan mengangkat bahu dan menggeleng-gelengkan kepala, mengisyaratkan bahwa “apa maksudmu? Aku nggak ngerti!”
“Gitu aja?” Akhirnya maksudnya terlontar juga dari mulutnya, persis seperti kukira.
“Gitu gimana?”
“Nggak ada balasan?”
“Nggak!” Kuakhiri pembicaraan. Dan keadaan kembali tenang seperti awal, terkecuali hatiku yang masih dag-dig-dug. Entah mengapa. Benakku kembali merekatkan kembali ingatan lima tahun lalu. Dan aku tidak menyukai itu dan dalam hati aku mengutuk pecahan-pecahan ingatan itu. Mengapa kamu datang? Di saat ini. Bukankah kamu sudah cukup berumur untuk memiliki seorang istri? Aku mengeraskan hatiku. Peduli apa aku dengannya. Kubacai lagi bukuku. Menekuni kata demi kata untuk melupakannya. (Lilih Prilian Ari Pranowo)
0 Response to "Kamu"
Posting Komentar