Sudah sejak beberapa hari terakhir ini hujan selalu mengguyur bumi Jogja di waktu-waktu pagi. Tidak macam hari-hari biasanya—waktu hujan sudah terpola: pagi terang, siang atau sore hujan. Mungkin, ini sesuai dengan ramalan BMG, yang memperkirakan bahwa hujan akan mencapai titik tertingginya di dua bulan awal tahun ini—Januari-Februari. Meski aku sesungguhnya betul-betul kedinginan jika malam tiba, aku tetap berharap hujan turun setiap tahunnya. Hanya saja, jangan keseringan dan waktu-waktu pagi.
Hari ini saja, ketika aku berangkat di pagi hari, hujan sudah mengguyur kota ini dengan penuh semangat. Dan tentunya, sewaktu aku berangkat ke kantor, aku kuyup. Padahal, aku sudah diwanti-wanti bapakku supaya mengenakan mantol (jas hujan), karena awan di sebelah barat terlihat gelap—diperkirakan olehnya akan hujan. Namun, karena kebodohan tingkat tinggiku dan kemalasanku terhadap sesuatu yang ribet, aku mengacuhkannya dan berangkat tanpa mengenakan mantol itu—yang lalu kulipat dengan sangat tidak rapi. Aku bilang pada bapak, “Sepertinya hari tidak hujan.”
“Hujan gerimis,” kata ayahku.
“Yeah, nanti semisal hujan. Akan kukenakan di tengah jalan.” Dalam hati aku berkata, ‘Sungguh akan terlihat konyol apabila aku mengenakannya namun hari tak hujan.’
Sial bagiku. Ternyata, awalnya hujan memang hanya rintik-rintik saja, semakin ke barat—ke arah kantorku—rinai hujan semakin deras. Tapi hingga aku sampai ke kantor, aku tetap tak mengenakan mantolku.
***
Sebuah pertanyaan menggumul dalam benakku lagi. Untuk apa aku menulis? Atau jika menarik pertanyaan lebih luas lagi, untuk siapakah aku menulis?
Jawaban-jawaban dari pertanyaan ini sebetulnya sudah kutemukan dalam sebuah buku yang kubeli kemarin pas pameran buku di Gedung Wanitatama. Pendapat-pendapat itu terhimpun dalam pidato para sastrawan dunia ketika mendapatkan hadiah mereka (Nobel), membikinku mengerti bahwa ada dua kepentingan bagi kita untuk menulis. Pertama, keinginan untuk mendapatkan sesuatu dari tulisannya, dalam hal ini adalah uang. Kedua, keinginan untuk mendapatkan kepuasan dari tulisannya, dalam hal ini kepentingan pribadi yang bermain—tanpa harus peduli siapa yang akan membaca tulisannya. Hal yang terakhir tersebut sama dengan ketika kita menulis catatan-catatan harian kita sendiri.
Di antara kedua pendapat itu, aku tak memilih salah satunya. Aku berada di tengah-tengahnya. Aku ingin menulis secara mandiri, di samping aku tetap mendapatkan penghargaan berupa materi dari tulisan-tulisanku. Terus terang saja, idealis tak membuat kita bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Lihat saja, Marx, yang hidup dalam kondisi papa sampai tiba matinya, ketika memperjuangkan idealisnya demi melawan para kapitalis dengan ide-ide revolusionernya tentang sosialisme dan komunisme. Urgh... idealisme yang rumit.
Beberapa ideku untuk menjual tema buku tersandung dengan sebuah pertanyaanku: apakah buku itu akan laku dengan tema yang seperti itu?
Pernyataan sekaligus pertanyaan tersebut membuatku secara moral lumpuh dalam menulis. Sehingga muncul keengganan untuk mencari sebuah tema dengan tema-tema spektakuler. Sebab, sayangnya, aku hanya sedikit tahu tentang kegilaan manusia dalam membelanjakan uangnya. Seperti Isaac Newton yang harus berkemas dari genjotan pasar saat mengetahui ia lebih memilih untuk mencari hukum gravitas daripada kegilaan konsumerisme manusia. Apalagi dalam masalah tulisan, sungguh-sungguh belum terkonsep otakku ini akan hal-hal semacam itu.
Seingatku Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan (menurutku ini seruan kepada para penulis--lebih khusus lagi penulis pemula), “Tulislah mengenai apapun. Tak usah pedulikan apakah tulisan itu akan diterbitkan penerbit atau tidak. Tulis saja, siapa tahu kelak akan berguna.”
Memang, aku sudah mengembangkan dalam proses-proses penulisan macam yang dibilang Pram. Walau konsep itu masih terbatas dalam catatan-catatanku saja. Namun mulai aku masuk ke kantor ini (3 Februari 2009), setelah komputerku yang keparat itu mati, aku jadi mandul karena aku tidak menulis setiap hari seperti yang kuingin lakukan dulu. Namun, mulai hari ini aku akan mengembalikan kebiasaanku yang sedikit memudar itu. Dan tiap hari menulis. Tapi di komputer kantor ini saja dulu.
Bagiku, menulis (apapun) adalah mengenai rasa manusia mengungkapkan pandangan-pandangannya lewat tulisan. Untuk mendapatkan itu, kita harus mendapatkan independensi tanpa tedensi apa-apa, sebab keinginan muluk yang dilibatkan dari tulisan hanya akan menjadi sebuah tendensi bodoh yang secara mental membuat kita tumpul akan keinginan-keinginan kita sendiri. Jika kita sebagai penulis menghilangkan semangat menulis, maka saat itulah kita sebagai penulis telah mati.
Bagaimana menurut kamu?
(Lilih Prilian Ari Pranowo)
0 Response to "Surat Kematian Seorang Penulis"
Posting Komentar