Kami memperbincangkan karir kami yang kian terpuruk dari hari ke hari. Maklum kondisi kantor sedang mengalami titi masa terberat soal keuangan. Selain soal nasib kami kelak yang hendak melangkah ke mana, jikalau kantor memang benar-benar gulung tikar.
“Aku tak punya impian muluk-muluk. Selepas dari sini aku bakal tetap menulis untuk tetap bertahan hidup. Yeah, kalau tak pindah ke lain penerbit. Aku hendak mengirimkan cerpen-cerpenku ke koran-koranlah,” tukasku pada Ahmed, “Tapi ada satu kendala yang selama ini menderaku. Aku belum bisa menulis dengan baik. Bagaimana menurutmu?”
Ahmed memandangiku sambil tetap mengunyah camilannya. Crauk... Crauk... Mulutnya penuh makanan. “Kalau kowe mau bisa nulis cerpen yang baik, cobalah menyalin cerpen. Betul-betul menyalin lho, bukannya menulis ulang. Ini bukan untuk menduplikasi, tetapi untuk mendapatkan inspirasi dan mengadaptasi cara kerja yang dibutuhkan seorang penulis atau pengarang.”
“Menyalin?” tanyaku.
“Yeap.” Jawabnya mantap. Ahmed kemudian bercerita bahwa Si Mbah—dedengkot yang kami kenal dalam urusan dunia sastra—melakukan metode ini. Mereka berdua—Ahmed dan Si Mbah—belajar bersama-sama sebagai pemula pada waktu yang hampir bersamaan. Tetapi yang melesat lebih dulu dalam jagat persastraan Indonesia adalah Si Mbah. Maksudnya ia lebih dulu mencatatkan namanya dengan acap dimuat di koran-koran, baik lokal maupun nasional.
“Kok bisa?” tanyaku penuh kebingungan. Sementara aku mengetahui bahwa Ahmed, kawanku, baru sampai pada tahap sebagai seorang penulis cerpen diari. Menulis cerpen untuk disimpan sendiri. Belum dipublikasikan (setahuku).
“Kalau saja kowe tahu kegilaan Si Mbah, tentu kowe takkan keheranan seperti ini. Bayangkan tiap hari dia menyalin cerpen-cerpen terkenal. Bagai orang kesurupan ia menyalin. Jika tak ada komputer, maka ia akan menyalin dengan tulis tangan.”
Aku terdiam. Aku belum sampai pada tahap kegilaan menulis seperti itu. Menulis tangan tentu akan melelahkan sekali, aku tahu itu, sebab waktu sekolah dulu kerjaku cuma mencatat apa yang diterangkan bapak-ibu guru atau apa-apa yang ditulis kawanku di papan tulis. Itu pun diambil dari diktat bapak-ibu guru. Yeah, aku memang bodoh, tapi tetap cinta jazz. “Menulis butuh energi ekstra, Lih. Yah, kekuatan untuk menyelesaikannya itu lho. Pada proses awal menulis kita merasa bersemangat, tetapi ketika tulisan sudah mencapai tengah-tengah, kita merasa enggan untuk melanjutkan. Alasannya berjuta-juta. Malas, capek, sakit, bingung, kekurangan bahan, menunggu inspirasi selanjutnya, sibuk ini-itu. Padahal nulis ya nulis. Sekali jalan rampungkan! Tak usah peduli ada apa. Geledek menyambar, tetangga teriak-teriak, adik menangis, atau ingin meringis. Tak usah peduli hasilnya bagus atau jelek.”
Aku mengernyitkan dahiku. Betullah yang dikatakannya. Kita ini banyak alasannya.
“Menulis itu merupakan salah satu upaya manusia untuk melawan rasa malasnya. Selain untuk melawan lupa. Dan demi sesuap nasi dan segenggam permata tentunya. Hehehe...” Dan ia menggramus camilannya lagi lebih banyak. Sementara aku meneguk teh manis yang sudah mulai hilang kehangatannya.
Hingga kini, setelah berbulan-bulan berlalu, kerap kali aku teringat kisah ini untuk memotivasiku tak berhenti menulis. Yah, kekuatan untuk menyelesaikan. Dan ini berlaku untuk kerja-kerja apapun. Jika tidak memiliki kekuatan ini lebih baik segera cari pandangan baru guna pindah ke tempat lain, kerja lain yang bisa dirampungkan. Dan dalam hal ini aku akan tetap mencoba bersetia pada kerja kepenulisan, yang mana kekuatan itu tentu harus kudapatkan dengan berpayah-payah tentu. (Lilih Prilian Ari Pranowo)
0 Response to "Kekuatan Menyelesaikan"
Posting Komentar