Apa ya ?
Aku mengaruk-garuk kepala untuk kesekian kali, bukan karena gatal, namun aku mencoba mengorek-orek sampah-sampah ide yang bersarang di kepalaku. Kutatap langit-langit. Tidak ada apa-apa di sana. Kupelototi permukaan karpet. Hitam saja tiga perempat warna karpetku memang hitam. Kuperhatikan jam weker biruku. Kosong. Ke bawah meja. Sama. Ke tembok. Apalagi! Hanya sarang laba-laba saja yang nampak di mataku.
Apa ya? Apa coba yang mesti kutulis ?
Aku beranjak dari dudukku. Mencoba keluar dari kamar yang semakin sumpek ini. Barangkali saja hembusan angin dan udara luar yang segar dapat menyegarkan kepalaku yang sedang mampet. Aku berjalan, terus berjalan menyusuri jalanan. Tanpa tahu arah mana jalan yang akan kutuju. Tengok kiri-kanan, mencoba menangkap sesuatu gerakan sekecil apapun dari kejadian di hari ini untuk kujadikan sumber ide. Namun, belum satupun yang dapat menginspirasikan diriku dan kejadian-kejadian yang kulihat sekarang, belum satupun yang berhasil menggoda imajinasiku.
Ah, barangkali memang menjadi penulis cerita tak segampang yang digembar-gemborkan banyak orang. Katanya, kita tinggal punya daya imajinasi yang tinggi, dan mampu menangkap kejadian-kejadian yang ada setiap hari. Padahal aku sudah membaca buku kisah bagaimana orang-orang beken, dalam bidang tulis-menulis cerita tentunya, bisa menghasilkan cerita yang dashyat, meledak-ledak, sehingga mampu menguasai pembacanya. Juga beberapa buku tentang teori-teori cara menjadi penulis cerita yang baik. Tidak! Tidak! Ternyata memang sulit … lit … lit. Karya-karya sastra dari orang-orang beken tersebut juga sudah kulalap abis, dari mulai Kahlil Gibran, Pramoedya Ananta Toer, dan lain-lainnya. Namun, itu tak mengubah aku untuk bisa menulis cerita. Satu cerita saja. Satu cerita saja yang ingin kuhasilkan. Mampet benar-benar mampet.
Sebentar aku telah berada dekat pada kerumunan manusia yang memadati ujung jalan itu. Polisi juga telah memadati areal sekitar. Aku bergegas ke sana, barangkali saja aku menemukan sumber ide yang bisa kujadikan cerita. Aku celingak-celinguk mencoba untuk dapat menggapai apa yang ada di depanku tiga perempat depanku sudah penuh sesak orang-orang yang juga menonton. Sebenarnya ada apa sih, pikirku.
“Gile, tuh orang mati dalam keadaan yang mengenaskan banget,” teriak seseorang yang berada di depanku.
Mendengar perkataan tersebut, aku menjadi semakin bersemangat untuk melihat orang mati tersebut. Ada apa sebenarnya? Ah, inilah sumber ideku. Aku berusaha menerobos orang-orang yang ada di depanku, agar aku dapat melihat dengan lebih jelas.
“Korban kecelakaan,” seru yang lain.
Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat mayat itu. Aku tak kuat melihatnya lebih lama. Segera kutinggalkan tempat itu. Sedikit berlari aku menjauh dari tempat kerumunan orang-orang itu. Kugambarkan keseluruhan tentang keadaan fisik dari mayat tersebut. Dia seorang laki-laki, berumur sekitar 30-an, bertubuh besar. Namun, yang paling mencolok dari mayat itu adalah mayat tersebut ada tanpa kepala. Bergidik aku membayangkannya. Mungkin itu korban tabrak lari atau korban kecelakaan atau korban dari sebuah pembunuhan, entahlah aku tak mau tahu. Itu bukanlah sebuah ide. Sudahlah kulupakan saja hal tersebut sebagai sumber ideku. Kususuri lagi jalanan.
Menjadi penulis pemula memang membutuhkan energi ekstra untuk mengembangkan imajinasi-imajinasi yang melintas, itu kata seorang yang pernah kuikuti dalam diskusi bagaimana menjadi penulis yang baik. Tapi boro-boro punya energi ekstra mengembangkan imajinasiku, untuk mencari ide saja aku kesulitan. Hah, apakah aku memang tak berbakat menjadi penulis cerita.
Aku berhenti di atas sebuah jembatan. Kupandangi air kali yang mengalir dari atas jembatan. Banyak sampah di bawahnya. Aha, aku berpikir akan mempunyai ide bila aku turun ke sana dan berlama-lama nongkrong disana. Menghayati seluruh sampah-sampah yang ada di kali tersebut. Seperti pernah kuketahui pula seorang seniman kenamaan mendapatkan ide-ide justru dari sampah-sampah yang berserak. Toh, tak ada salahnya aku mengikuti jejaknya, siapa tahu pula aku mendapatkan ide-ide segar di dalamnya.
Begitu bersemangat aku turun dari atas jembatan menuju bawah jembatan. Setelah sampai di bawah jembatan. Langsung saja menongkrongi tumpukan sampah di sekitar bawah jembatan itu. Satu persatu kupandangi sampah-sampah itu. Aku membayangkan akan mendapatkan setumpuk ide yang menggunung untuk cerita-ceritaku.
Sejam. Dua jam. Tiga jam. Empat jam. Bahkan hampir seharian aku nongkrong di sana, tak kudapatkan ide satupun. Ah, aku stress jadinya. Apa sih yang harus kulakukan untuk mendapatkan ide. Hoi apa dong? Apa yang harus kutulis, kalau aku tak punya ide? Mampet benar-benar mampet! Benar-benar mampet kelas tinggi.
***
Duk. Duk. Duk, suara pintu kamarku digedor membuyarkan lamunan. Ah, brengsek. Siapa lagi itu, batinku, sedang serius begini. Kubuka pintu kamarku. Dan kudapati seseorang di sana. Rupanya pengantar makanan pesananku. “Mas, ini pesanan loteknya.” Sambil menyerahkan sebuah bungkusan kresek berwarna hitam. Lalu kuserahkan dua lembar seribuan padanya, tanda pembayaranku. Kemudian dia beranjak pergi meninggalkanku. Kututup pintu kamarku lagi. Ah, benar-benar tak ada ide hari ini. Mampet. Kalau begini aku tak ada cerpen hari ini. Memang benar-benar mampet. []
Aku mengaruk-garuk kepala untuk kesekian kali, bukan karena gatal, namun aku mencoba mengorek-orek sampah-sampah ide yang bersarang di kepalaku. Kutatap langit-langit. Tidak ada apa-apa di sana. Kupelototi permukaan karpet. Hitam saja tiga perempat warna karpetku memang hitam. Kuperhatikan jam weker biruku. Kosong. Ke bawah meja. Sama. Ke tembok. Apalagi! Hanya sarang laba-laba saja yang nampak di mataku.
Apa ya? Apa coba yang mesti kutulis ?
Aku beranjak dari dudukku. Mencoba keluar dari kamar yang semakin sumpek ini. Barangkali saja hembusan angin dan udara luar yang segar dapat menyegarkan kepalaku yang sedang mampet. Aku berjalan, terus berjalan menyusuri jalanan. Tanpa tahu arah mana jalan yang akan kutuju. Tengok kiri-kanan, mencoba menangkap sesuatu gerakan sekecil apapun dari kejadian di hari ini untuk kujadikan sumber ide. Namun, belum satupun yang dapat menginspirasikan diriku dan kejadian-kejadian yang kulihat sekarang, belum satupun yang berhasil menggoda imajinasiku.
Ah, barangkali memang menjadi penulis cerita tak segampang yang digembar-gemborkan banyak orang. Katanya, kita tinggal punya daya imajinasi yang tinggi, dan mampu menangkap kejadian-kejadian yang ada setiap hari. Padahal aku sudah membaca buku kisah bagaimana orang-orang beken, dalam bidang tulis-menulis cerita tentunya, bisa menghasilkan cerita yang dashyat, meledak-ledak, sehingga mampu menguasai pembacanya. Juga beberapa buku tentang teori-teori cara menjadi penulis cerita yang baik. Tidak! Tidak! Ternyata memang sulit … lit … lit. Karya-karya sastra dari orang-orang beken tersebut juga sudah kulalap abis, dari mulai Kahlil Gibran, Pramoedya Ananta Toer, dan lain-lainnya. Namun, itu tak mengubah aku untuk bisa menulis cerita. Satu cerita saja. Satu cerita saja yang ingin kuhasilkan. Mampet benar-benar mampet.
Sebentar aku telah berada dekat pada kerumunan manusia yang memadati ujung jalan itu. Polisi juga telah memadati areal sekitar. Aku bergegas ke sana, barangkali saja aku menemukan sumber ide yang bisa kujadikan cerita. Aku celingak-celinguk mencoba untuk dapat menggapai apa yang ada di depanku tiga perempat depanku sudah penuh sesak orang-orang yang juga menonton. Sebenarnya ada apa sih, pikirku.
“Gile, tuh orang mati dalam keadaan yang mengenaskan banget,” teriak seseorang yang berada di depanku.
Mendengar perkataan tersebut, aku menjadi semakin bersemangat untuk melihat orang mati tersebut. Ada apa sebenarnya? Ah, inilah sumber ideku. Aku berusaha menerobos orang-orang yang ada di depanku, agar aku dapat melihat dengan lebih jelas.
“Korban kecelakaan,” seru yang lain.
Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat mayat itu. Aku tak kuat melihatnya lebih lama. Segera kutinggalkan tempat itu. Sedikit berlari aku menjauh dari tempat kerumunan orang-orang itu. Kugambarkan keseluruhan tentang keadaan fisik dari mayat tersebut. Dia seorang laki-laki, berumur sekitar 30-an, bertubuh besar. Namun, yang paling mencolok dari mayat itu adalah mayat tersebut ada tanpa kepala. Bergidik aku membayangkannya. Mungkin itu korban tabrak lari atau korban kecelakaan atau korban dari sebuah pembunuhan, entahlah aku tak mau tahu. Itu bukanlah sebuah ide. Sudahlah kulupakan saja hal tersebut sebagai sumber ideku. Kususuri lagi jalanan.
Menjadi penulis pemula memang membutuhkan energi ekstra untuk mengembangkan imajinasi-imajinasi yang melintas, itu kata seorang yang pernah kuikuti dalam diskusi bagaimana menjadi penulis yang baik. Tapi boro-boro punya energi ekstra mengembangkan imajinasiku, untuk mencari ide saja aku kesulitan. Hah, apakah aku memang tak berbakat menjadi penulis cerita.
Aku berhenti di atas sebuah jembatan. Kupandangi air kali yang mengalir dari atas jembatan. Banyak sampah di bawahnya. Aha, aku berpikir akan mempunyai ide bila aku turun ke sana dan berlama-lama nongkrong disana. Menghayati seluruh sampah-sampah yang ada di kali tersebut. Seperti pernah kuketahui pula seorang seniman kenamaan mendapatkan ide-ide justru dari sampah-sampah yang berserak. Toh, tak ada salahnya aku mengikuti jejaknya, siapa tahu pula aku mendapatkan ide-ide segar di dalamnya.
Begitu bersemangat aku turun dari atas jembatan menuju bawah jembatan. Setelah sampai di bawah jembatan. Langsung saja menongkrongi tumpukan sampah di sekitar bawah jembatan itu. Satu persatu kupandangi sampah-sampah itu. Aku membayangkan akan mendapatkan setumpuk ide yang menggunung untuk cerita-ceritaku.
Sejam. Dua jam. Tiga jam. Empat jam. Bahkan hampir seharian aku nongkrong di sana, tak kudapatkan ide satupun. Ah, aku stress jadinya. Apa sih yang harus kulakukan untuk mendapatkan ide. Hoi apa dong? Apa yang harus kutulis, kalau aku tak punya ide? Mampet benar-benar mampet! Benar-benar mampet kelas tinggi.
***
Duk. Duk. Duk, suara pintu kamarku digedor membuyarkan lamunan. Ah, brengsek. Siapa lagi itu, batinku, sedang serius begini. Kubuka pintu kamarku. Dan kudapati seseorang di sana. Rupanya pengantar makanan pesananku. “Mas, ini pesanan loteknya.” Sambil menyerahkan sebuah bungkusan kresek berwarna hitam. Lalu kuserahkan dua lembar seribuan padanya, tanda pembayaranku. Kemudian dia beranjak pergi meninggalkanku. Kututup pintu kamarku lagi. Ah, benar-benar tak ada ide hari ini. Mampet. Kalau begini aku tak ada cerpen hari ini. Memang benar-benar mampet. []
0 Response to "Mampet"
Posting Komentar