Harmoni

Aku terdiam ketika menatap layar monitor. Semuanya terasa hampa, kaku, kelu. Jari jemariku tak bisa lincah selincah omongan otak yang ada di dalam kepala. Gagap dalam kata. Rasanya ingin mengetuk kepala dengan palu, biar pecah, biar berurai semua kata.

***

Kulihat bintang di langit, bersinar. Langit hitam kelam. Angin sepoi bertiup semilir, meniupkan rasa dingin ke dalam sumsum tulangku. Kehidupan terus berjalan, tak pernah berhenti mengalir, menggayutkan pikiranku—di mana ia pergi mengembara ke mana suka, cepat-cepat, sekilas-sekilas, seperti potongan-potongan frame dalam film.

Dari jendela rumahku yang berada di tepi jalan, kuperhatikan mobil-mobil lalu lalang, motor-motor ngebut dengan gas-gas yang memekakkan telinga. Sementara, musik rock dari kamar sebelah meraung-raung, melesakkan suaranya secara paksa ke kamarku. Aku mengelus dagu yang tidak ditumbuhi jenggot seperti kebanyakan lelaki lainnya. Kemudian, mencoba merenung sejenak. Menuliskan satu kata, hanya satu kata saja: Harmoni.
Entah kenapa aku menyukai satu kata itu.

***

Aku menghirup udara segar, tanda kemenanganku terhadap malam. Kemudian, kupuja matahari dan embun sejuk pagi ini, karena mampu memberikan apa yang dibutuhkan oleh kehidupan. Rasanya baru kemarin aku mencicip hawa dunia pada tarikan napas dan tangis pertamaku, yang diiringi tawa bahagia dua orang yang tak kukenal—belakang kukenal mereka sebagai orang tua. Orang yang melahirkanku ke dunia. Orang yang membuat aku jatuh ke dalam beban tugas mahaberat—di mana tugas-tugas itu ditumpukkan langsung saja di mukaku. Keikhlasan untuk menjalaninya adalah kemampuan yang kubutuhkan untuk kuciptakan.
Bagiku, apa yang terjadi pada dunia adalah kenyataan bahwa aku menjadi bagiannya.
Sebuah pesan singkat dari rekan sekerja masuk ke dalam ponselku: aku resign. Aku dapat kerja yang lebih menantang dan menyenangkan.

Hmmmh. Aku menggumam. Memejamkan mata lantas menghirup udara. Jiwaku mendadak alpa dari keseriusan yang kujalani. Rasanya sangat nikmat dan ringan. Kemudian, membuatku melayang dan aku merasakan kebebasan. Perspektif baru kudapatkan. Karena, di atas bumilah kita bisa mendapatkan perspektif yang tidak biasa.

Ayo sudahlah, pergi saja dengan kita menuju kerajaan surga. Begitu pesan singkat yang masuk lagi ke dalam ponselku.

***

Braak...!!!! meja kerjaku digebrak seseorang. Ternyata bosku yang teramat galak dengan muka yang amat sangar. Aku terbangun sambil mengerjap-ngerjapkan mataku. Kemudian, tersenyum, “maaf pak, saya ketiduran.”

Ia pergi tanpa sepatah kata pun. Kemudian, aku menyesali. Oh, semua ini hanya mimpi. Teman-teman kerjaku pergi, resign. Tapi, aku masih berada di tempat terkutuk ini. Menyebalkan, hanya saja aku yakin bahwa ini cara alam membuat harmoni. Satu kata yang kusukai, kini.

0 Response to "Harmoni"

Posting Komentar