Dia

Malam itu aku melihatnya. Ia sedang menonton televisi di ruang agak sebelah dalam. Sendirian. Aku tekan bel, untuk memanggil kawan yang sudah janjian bertemu dengannya. Katanya ia ingin meminta pertolonganku mengedit peta untuk lampiran skripsinya. Tiga kali kutekan bel itu. Tapi ia yang sedang sendirian menonton televisi tak bergeming dan tetap hening. Barangkali tak mendengar, pikirku. Hingga ada seorang perempuan keluar dan bertanya, "cari siapa ya?"

Dan ia pun menengok ke arah pintu depan. Ya ampun itu dia! "Aku cari Dwi."

Sebentar kemudian terdengarlah suara panggilan. "DWIIIIIII....!!!" Kawanku itu pun menyahut dan keluar dari persembunyiannya. Kamarnya. "Apa?" Tanyanya.

"Ada yang cari tuh..."

"Oiya..."

Aku tunggu di luar. Di bawah rerindangan pepohonan, yang malam itu agak gelap, sebab di bagian luar kos-kosan perempuan itu lampu kurang terang menerangi. Agak lama memang. Biasalah. Kawanku yang adik kelasku itu memakai baju yang sedikit pantas untuk menemui seorang tamu--meski bukan tamu yang spesial.

Setelah ia keluar dan menampakkan senyum, aku bertanya. "Mana peta yang ingin kau edit?"

"Ini, mas, pak Argus, minta dibikinkan skalanya." Dan ia menyerahkan selembar kertas bergambar peta yang agak lusuh karena dilipat-lipat olehnya.

"O, gampang. Oke deh." Lantas kami mengobrolkan hal-hal di luar itu, seperti kegiatan kami selama ini, maklum jarang bertemu. Dan aktivitasnya selama menjalani tahap membuat skripsi dengan pembimbingnya pak Argus, yang telah kujalani dua-tiga tahun lampau.

Setelah obrolan agak mereda dan mencair seiring berjalannya waktu, aku bertanya padanya: "Eh, itu yang duduk di depan tipi sendirian, namanya V ya?"

Kawanku yang seorang perempuan itu mengangguk-angguk. "Iya, mas. Lho kok tahu? Kenal?"

Gantian aku yang manggut-manggut. "Iya, kenal. Yang anak Sosiologi itu kan? Seangkatan sama kamu kan?"

"Iya. Kenapa mas?"

"Nggak. Nggak apa-apa kok."

Lantas obrolan pun mencair entah bergulir ke mana. Sementara pikiranku masih tetap terpaku pada ia yang duduk di depan televisi sendirian. Aku jadi teringat sebuah buku yang ditulis oleh Mushashi Miyamoto bertajuk "Kitab Lima Cincin": Bahwa pikiran tidak boleh ditempatkan pada sesuatu, sebab pikiran itu berjalan dan hidup itu bergerak. Jika pikiran ditempatkan pada sesuatu, maka kau akan tertebas pedang. Tapi, segera kusingkirkan ingatan teoretis itu. Malas. Ini bukan saatnya berbicara teoretis. Ini hal yang nyata. Sangat nyata.

Lantas ia yang duduk di depan televisi, beranjak dari duduknya, mematikan televisi yang ditontonnya dan berlalu dari situ ke lantai dua. Dan menghilang dari pandanganku. Aku agak celingukan mencarinya, yang mana kemudian dilihat oleh kawanku itu. "Ada apa mas?" ia pun bertanya.

"Nggak ada apa-apa kok."

"Mau tak salamin?"

Aku diam. Tapi dalam benakku ini tawaran menarik. Hem, tapi ingatanku melayang pada tahun 2004. Ah, kutepis lagi. Tapi pertemuan ini adalah buktinya. Aku telah mencarinya beberapa saat untuk meminta maaf dulu. Dan tak pernah kutemukan bekar jejaknya hingga saat ini.

Aku pamitan pulang sama kawanku. Dan berjanji kembali pada hari Rabu minggu ini untuk menyerahkan apa yang ditugaskannya padaku. Tapi kembali ketika aku beranjak, benakku mengatakan ini tawaran menarik dan belum pernah terjadi. Maka, aku beralih pikiran. "Hem..."

"Apa mas?"

"Salamin sama dia yah..."

Ia pun tersenyum. "O... Baiklah. Salamnya apa nih?"

"Ah, bisa aja kamu ini," tukasku. Aku berlalu dari kawanku.

Dalam perjalanan pulang, aku membayangkannya kembali. Membayangkan kenangan yang sudah berlalu lima tahun lebih. Apakah waktu itu berkesan baginya? Entahlah. Aku tak ingin menerkanya.
(Lilih Prilian Ari Pranowo)

0 Response to "Dia"

Posting Komentar