Standar itu Beda-beda

Mengenai judul di atas, saya sedikit mau bertutur kisah tentang sebuah pengalaman. Medio akhir 2007-awal 2008, saya tengah berada di Jakarta. Di sana saya tengah disibukkan aktivitas meriset sekalian mencari uang pula. Saya tak sendiri, beberapa orang kawan turut ambil bagian dalam proyek ini. Apa yang kami riset? Kronik kebangkitan Indonesia 1908-2008, di mana buku tersebut menulis hari per hari tentang peristiwa yang terjadi di Indonesia sekurun waktu 100 tahun (sudah disebutkan bentangan tahunnya), yang kalau ditulis sekarang ini sudah jadi sejarah.

Proses penulisan tersebut cukup merepotkan dan membingungkan. Pertama, rentang waktu yang sedemikian panjang membikin kami sedikit kerepotan dengan alih bahasa. Ingat waktu dulu (sekira awal abad 20-an) Indonesia (waktu itu Hindia Belanda) belum memiliki bahasa nasional macam saat ini. Bahasa yang lazim digunakan adalah bahasa melayu bercampur bahasa daerah masing-masing, di samping banyak pula yang memakai Jawa dan Belanda. Kedua, untuk menuliskan semua-mua itu, kami harus stay di perpustakaan nasional. Sebab korannya sudah tak bisa dibawa pulang. Kertas-kertas sudah tua, sudah bapuk. Di samping ada yang sudah dimikrofilm. Barangkali semisal tak memakai tulis tangan (maksudnya pakai laptop) kerja akan menjadi lebih cepat. Tetapi kami tak memiliki, kecuali satu orang. Ketiga, suhu di perpustakaan nasional membuatku masuk angin, maklum orang desa, tak biasa menggunakan ac. Itu di lantai empat.

Suatu waktu, kawan-kawanku ada main ke lantai teratas, lantai delapan. Mereka-mereka yang ke sana bilang bahwa di lantai delapan koran-korannya tak dimikrofilm, tetapi masih utuh-tuh berbentuk fisik. Dan mereka banyak mendapatkan sumber di sana.

Sesampainya di sana, aku malah tambah pusing. Kenapa? Masalah di lantai empat tak terselesaikan kini muncul lagi masalah baru. Kalian tahu, koran-koran tersebut dijilid rapi dan bentuknya gede. Coba kalau lebih dari satu jilid, bisa bertumpuk-tumpuk kan? Aku berpikir, jika ditulis tangan sama halnya dengan yang ada dimikrofilm, ditambah mata pakai mencari-cari di mana peristiwa yang menarik. Capek. Tak efektif. Hah, aku mengelus dada. Sebelum akhirnya terpantik ide: kenapa tak dipotret saja?

Keesokan harinya aku bawa foto untuk jeprat-jepret. Sesudah kutandai peristiwa-peristiwa yang hendak kufoto, tibalah waktunya bagi fotograper dadakan ini untuk beraksi. Cepret... cepret... jadilah foto. Bagus-bagus.

Tiba-tiba seorang petugas menghampiri, dia bertanya, “Mas moto ya?”

“Iya,” jawabku.

“Nanti dikenai uang charger ya.”

“Beres pak. Berapa ya pak?”

“Seikhlasnya sampeyan saja.”

“Oh…” mulutku membentuk huruf O besar.

Sesudah moto, aku hendak membayarkan bill-nya. Aku dioper ke petugas yang lainnya. “Berapa pak?”

“Lho tadi moto berapa ya?”

“Kata bapak yang sebelumnya seikhlasnya saya.”

“Oh ya sudah…”

Kukeluarkanlah tiga lembar uang seribuan. Raut wajahnya agak menggambarkan keanehan. Dan tahu apa yang terjadi keesokan harinya? Koran yang hendak aku foto-foto lagi disembunyikan sama petugas yang kesal sama saya. Begitu ditanyakan mereka mencebikku. Aku segera melaporkan ke pengasuhku, dan disediakanlah tiga lembar uang sepuluh ribuan yang dimasukkan ke dalam amplop untuk diberikan kepada mereka. Hasilnya? Mereka segera tersenyum-senyum manis padaku, yang berarti mereka kembali senang padaku.

* * *

Dari pengalamanku ini aku kemudian belajar bahwa menulis pun membutuhkan uang. Uang digunakan untuk biaya ini-itu. Tapi ingat jangan jadikan uang sebagai motivasi utama. Sebab bisa mati kreativitas juga kita ditekan uang. Yang penting bebas. Ketika kawan-kawan lainnya kuceritakan mengenai masalah ini, sewaktu ada pelatihan menulis esai, semua tertawa terbahak-bahak. Menertawai kegoblokan saya. Mudah-mudahan takkan terulang.
(Lilih Prilian Ari Pranowo)

0 Response to "Standar itu Beda-beda"

Posting Komentar